Pada 20 Maret 2025, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia secara resmi mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pengesahan ini dilakukan dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh Ketua DPR, Puan Maharani, dan disetujui oleh seluruh fraksi yang hadir. Pemerintah mengeklaim bahwa revisi UU TNI bertujuan untuk menyesuaikan peran TNI dengan perkembangan geopolitik dan teknologi militer global. Menteri Pertahanan Indonesia, Sjafrie Sjamsoeddin, menyebutkan bahwa peran TNI yang semakin kompleks, baik dalam menghadapi ancaman konvensional maupun non-konvensional, memerlukan pembaruan undang-undang yang dapat memperkuat kapasitas dan peran militer dalam menjaga stabilitas negara. Menurutnya, penguatan TNI di bidang operasional selain perang (OSP), seperti dalam penanggulangan narkotika dan ancaman siber, merupakan langkah penting untuk menjamin keamanan Indonesia.
Namun, klaim pemerintah mengenai penguatan kapasitas TNI ini mendapat kritik dari berbagai kalangan. Banyak pihak berpendapat bahwa meskipun peningkatan kapasitas TNI dalam menghadapi tantangan global penting, pemerintah seharusnya menekankan pada peningkatan kualitas institusi sipil yang terkait langsung dengan penanganan masalah-masalah tersebut. Proses peran TNI yang semakin meluas dalam bidang-bidang selain perang, dinilai bisa membuka celah bagi intervensi militer dalam ranah yang seharusnya menjadi tanggung instansi sipil.
Kontroversi dan Kekhawatiran Masyarakat
Salah satu poin yang paling kontroversial dalam revisi UU TNI ini adalah perluasan peran TNI dalam Operasi Selain Perang (OSP). Sesuai dengan dokumen hasil pembahasan Komisi I DPR RI, jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI diperluas, dari 10 kementerian/lembaga menjadi 15 kementerian/lembaga. Penambahan jabatan sipil tersebut tertuang dalam hasil revisi Pasal 47 UU TNI. Pada ayat (1) pasal tersebut menyebutkan secara tegas jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI, sebagai berikut:
- Lembaga/Kementerian yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara;
- Lembaga/Kementerian yang membidangi pertahanan negara, termasuk Dewan Pertahanan Nasional;
- Kesekretariatan negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden;
- Intelijen negara;
- Siber dan atau sandi negara;
- Lembaga ketahanan nasional;
- Search and rescue (SAR) nasional;
- Narkotika nasional;
- Pengelola perbatasan;
- Kelautan dan perikanan;
- Penanggulangan bencana;
- Penanggulangan terorisme;
- Keamanan laut;
- Kejaksaan Republik Indonesia; dan
- Mahkamah Agung.
Pasal-pasal yang mengatur hal seperti ini menimbulkan protes dari berbagai elemen masyarakat yang berpendapat bahwa penanganan masalah seperti narkotika dan ancaman siber lebih tepat dikelola oleh lembaga pemerintahan atau kementerian yang memiliki kewenangan di bidang tersebut. Keterlibatan TNI dalam masalah-masalah ini berisiko mengganggu profesionalisme sektor sipil dan membuka peluang bagi militer untuk melakukan politisasi dalam penanganan masalah-masalah tersebut.
Selain itu, peran baru TNI yang tercantum dalam revisi UU TNI juga memunculkan kekhawatiran akan kembalinya dominasi militer dalam politik dan pemerintahan. Pasal yang mengatur kemungkinan penempatan prajurit aktif dalam jabatan sipil di kementerian-kementerian tertentu, seperti Kementerian Kelautan dan Kejaksaan Agung, memicu ketakutan bahwa ini bisa mengarah pada kembalinya dwifungsi ABRI. Dwifungsi ABRI yang berlaku pada masa Orde Baru, ketika TNI tidak hanya berperan sebagai alat pertahanan negara tetapi juga memiliki kekuatan yang besar dalam kebijakan sipil, dianggap sebagai salah satu faktor yang melemahkan demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia.
Penerimaan revisi ini oleh DPR juga tidak lepas dari sorotan terkait minimnya transparansi dalam proses legislasi. Beberapa organisasi masyarakat sipil mengkritik proses pembahasan RUU yang dilakukan secara tertutup dan terburu-buru tanpa melibatkan publik sama sekali. Padahal, isu yang melibatkan struktur kekuasaan negara, khususnya yang melibatkan peran militer, sangat sensitif dan seharusnya melibatkan diskusi yang lebih terbuka agar tercapai pemahaman dan kesepakatan bersama antara berbagai pihak.
Proses Legislasi yang Cepat dan Tertutup
Proses legislasi yang berlangsung cepat dan relatif tertutup menjadi salah satu sorotan utama dalam pengesahan revisi UU TNI ini. Pembahasan RUU yang dilakukan oleh Panitia Kerja Komisi I DPR dengan pemerintah berlangsung secara tertutup pada 14-15 Maret 2025, yang menimbulkan kecurigaan di kalangan publik mengenai ketidaktransparanan dalam pembahasan isu-isu tersebut. Proses yang cepat ini juga menimbulkan kekhawatiran bahwa keputusan-keputusan yang diambil tidak sepenuhnya mempertimbangkan berbagai dampak sosial, politik, dan ekonomi yang akan timbul dari perubahan undang-undang ini.
Kritik terhadap proses legislasi juga muncul karena adanya ketidakseimbangan antara urgensi untuk memperbaharui UU TNI dengan proses yang demokratis. Banyak pihak merasa bahwa pengesahan RUU ini dilakukan dengan mengabaikan partisipasi publik yang seharusnya ada dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan rakyat. Terutama dalam konteks militer, yang memiliki peran dan kekuasaan besar dalam negara, diskusi publik seharusnya menjadi hal yang tak terhindarkan dalam pembahasan semacam ini. Akibatnya, proses legislasi yang cepat dan tertutup ini menambah kecurigaan bahwa kebijakan ini lebih didorong oleh kepentingan politik dan bukan semata-mata untuk kemajuan negara.
Proses pengesahan yang terkesan terburu-buru ini juga dianggap menurunkan kredibilitas DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan dan representasi rakyat. Masyarakat pun merasa bahwa keputusan yang diambil oleh wakil rakyat tidak mencerminkan kehendak mayoritas rakyat Indonesia. Dalam hal ini, peran TNI sebagai alat negara yang harus mengedepankan supremasi sipil dan demokrasi menjadi sangat penting. Sebab, banyak kalangan berpendapat bahwa pengesahan RUU TNI yang tidak melalui proses yang lebih terbuka dapat merusak kualitas dan integritas demokrasi Indonesia.
Potensi Dampak dari Pengesahan Revisi UU TNI
Pergeseran peran TNI yang lebih luas dalam revisi UU TNI ini berpotensi menciptakan ketidakseimbangan antara kekuatan militer dan sipil dalam pemerintahan. Dampak pertama yang paling terasa adalah hilangnya pembatasan yang jelas antara fungsi militer dan fungsi sipil. Hal ini membuka ruang bagi TNI untuk lebih terlibat dalam aspek-aspek kehidupan sipil. Sebagian pihak berpendapat bahwa hal ini justru akan mengurangi kualitas demokrasi dan memudahkan terjadinya penyalahgunaan wewenang, terutama jika TNI ditempatkan dalam jabatan-jabatan yang seharusnya menjadi domain kementerian dan lembaga sipil.
Prediksi dampak lainnya adalah munculnya ketidakpastian dalam sektor birokrasi sipil, terutama jika pasal yang memperbolehkan penempatan prajurit aktif dalam jabatan sipil dilaksanakan. Meskipun ini dimaksudkan untuk memperkuat kapasitas TNI, banyak yang memandangnya sebagai langkah mundur ke arah dominasi militer dalam ranah politik dan pemerintahan. Hal ini tentu berpotensi menghambat proses regenerasi dan pembaruan dalam tubuh TNI itu sendiri, karena penempatan kembali perwira yang sudah memasuki usia pensiun bisa mengurangi ruang bagi kader-kader muda yang lebih segar dan lebih inovatif.
Selain itu, dampak jangka panjang yang bisa muncul adalah melemahnya hubungan antara militer dan masyarakat sipil. Jika militer terus diposisikan sebagai aktor penting dalam kebijakan sipil, kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan, termasuk dalam hal pengawasan, bisa berkurang. Ini akan berdampak pada kemunduran dalam hal transparansi dan akuntabilitas negara yang sejatinya harus menjadi prinsip utama dalam sistem pemerintahan demokratis.